Wednesday, October 10, 2007

Mudik

Huahh akhirnya setelah, berpikir Lama aku Dan adek Ku memutuskan Mudik lebaran kali Ini,, Ini Lebaran Idul Fitri Yg pertama bersama Ortu setelah beberapa tahun Aku enggan Untuk Mudik..
aku enggan Mudik Bukannya Tidak Kangen sm Org Tua Tp lebih Lagi kebencian Ku pd seseorang Selalu menghambat langkah Ku untuk Pulang zzzz,, kenangan2 Itu terlalu menyakit kan ku uhuhuhu, tp sudah Lah Toh smuanya sudah berakhir, skrg aku punya kehidupan baru, punya tmn2 Yg baik dan selalu care pd ku. Yg membuat KU Luluh Untuk Pulang kali Ini adalah Tlp Dr Ayah Ku Yg terdengar Sedih DI tlp hihihih, pdhl biasanya beliau selalu tegar Dan menyerahkan Smuanya Pd Ku Mau Pulang atau Tidak baginya G masalah tp kali iNi laen, Ntah Knp Tiba2 beliau memaksa Ku untuk Pulang, takut semakin banyak dosa Pd ortu akhirnya Ku putuskan Untuk Pulang Jg, Kota kecil Ku Im Coming Hihihihihi..

Oh Yah Buwat Tmn2 Smuanya met lebaran Yee,, Mohon Maaf lahir dan bathin Untuk Smua Salah Dan Khilaf yg hadir di antara canda dan tawa Yg tercipta..

Buat seseorang,, MaaF Klo selalu Merepotkan Mu dengan Smua Hal :D

Luv You Muaccccccccchhhhhhhh

wahahahaha Ntah sp Yg merasa aja lah ya huhuhu, yg merasa sering di repotkan maksudnya

Kelahiran Cucu Kesayangan Nabi

Republika: Kamis, 27 September 2007
Hasan bin Ali
Kelahiran Cucu Kesayangan Nabi

Sejumlah pengalaman diserap untuk mengembangkan wawasannya.

Pertengahan Ramadhan, 3 Hijriah. Tangis bayi laki-laki pecah di tengah
rumah sederhana pasangan muda Fatimah Az Zahra dan Ali bin Abi Thalib.
Kehadiran buah hati yang kemudian dinamakan Hasan ini, melengkapi
pernikahan keduanya yang berlangsung lima bulan setelah hijrah.

Tak lama berselang, Rasulullah Muhammad pun bertandang. Ia meminta Fatimah
untuk memperlihatkan cucu laki-lakinya itu. Lalu menanyakan apakah bayi
yang wajahnya menyerupai dirinya itu telah bernama.''Aku memberi nama
Harb,'' jawab sang ayah bayi itu, Ali.

Muhammad pun menukas agar Ali tak memberi nama anak pertamanya itu dengan
Harb. Lebih baik, kata dia, namanya Hasan. Ia menyatakan tak ada orang Arab
yang memberi nama Hasan kepada anaknya. Nama yang paling mendekati adalah
Hasn yang digunakan oleh beberapa orang Yaman.

Abdul Mun'im Muhammad dalam bukunya, Khadijah, mengungkapkan setelah
kelahiran Hasan, Muhammad seringkali meluangkan waktu untuk berkunjung ke
rumah Fatimah dan Ali serta bermain-main dengan Hasan. Rasulullah sangat
mencintai cucu lelakinya itu.

Hasan terlihat kerap diletakkan di pundak Rasulullah bahkan ketika ia
keluar rumah berjalan-jalan. Hingga pada suatu saat, seorang sahabat
menyatakan pendapatnya. ''Wahai anak kecil, betapa mulia orang yang engkau
naiki itu,'' katanya.

Mendengar hal itu, Rasullah menyatakan betapa mulia pula orang yang
menaikiku. Bahkan ia pun bermunajat kepada Allah, bahwa ia sangat mencintai
Hasan dan ia pun berharap Allah mencintai Hasan.''Ya Allah, aku sungguh
mencintainya. Cintailah siapapun yang mencintainya' katanya.

Hasan memang menjadi kesayangan Muhammad. Demikian pula dengan adiknya,
Husain, yang lahir kemudian. Keduanya menjadi cucu yang sangat disayang
oleh kakeknya yang seorang Rasul itu. Bahkan dinyatakan keduanya merupakan
pemuda penghulu surga.

Hasan yang kemudian beranjak besar, melihat betapa ayahnya, Ali begitu
memainkan peranan aktif dalam kehidupan masyarakat Muslim di Madinah. Ia
melihat, Ali seringkali turun ke medan pertempuran untuk mempertahankan dan
menjaga kehormatan panji-panji Islam. Sejumlah pengalaman yang ia serap ini
kemudian menjadi sebuah wawasan bagi dirinya pada masa selanjutnya.

Setelah khalifah ketiga, Ustman bin Affan terbunuh, Ali kemudian menjabat
sebagai khalifah. Hasan memberi bantuan dalam pemerintahan ayahnya itu.

Pada suatu saat, Hasan memimpin pasukan ke Kufah dan ia menuai keberhasilan
dengan meredam kelompok Muslim yang menyimpang. Ia juga terlibat dalam
sejumlah pertempuran di antaranya pertempuran di Basra, Siffin, dan
Nahrawan. Ia mendampingi ayahnya, Ali.

Dalam serangkaian pertempuran yang Hasan ikuti itu, ia menunjukkan
kepiawaiannya sebagai seorang prajurit sekaligus pemimpin. Sebelum, Ali
menghembuskan nafas terakhir, Hasan ditunjuk untuk menggantikannya memimpin
kekhalifahan dan menjadi imam. Rakyat juga memberi dukungan agar Hasan
menggantikan posisi ayahnya itu.

Namun kedudukan Hasan mengancam posisi Muawiyah yang selama Ali menjabat
kerap berseberangan. Ini terkait dengan kasus pembunuhan Ustman bin Affan
yang tak kunjung usai.

Muawiyah pun kemudian menjabat sebagai khalifah. Dan ia pun berencana
mewariskan kekuasaannya kepada anaknya, Yazid bin Muawiyah. Namun ia
menganggap Hasan menjadi halangan terlaksananya rencananya itu. Sejumlah
sumber menyatakan Muawiyah menyusun rencana membunuh Hasan.

Secara rahasia, Muawiyah melakukan kontak dengan istri Hasan, Ja'da binti
al-Ash'ath ibn Qays. Ja'da kemudian membubuhkan racun yang dicampur dengan
madu pada makanan Hasan. Ja'da dijanjikan hadiah emas dan menikah dengan
Yazid.

Sumber lain menyebutkan yang meracun adalah istri Hasan lainnya, yaitu anak
Suhayl ibn Amr. Bahkan ada yang menyatakan bahwa pembunuhan melalui racun
itu dilakukan oleh pembantu Hasan. Dan Hasan menghembuskan nafas terakhir
di Madinah pada 28 Safar 50 H.

Jasad Hasan kemudian dikuburkan di pemakaman Jannat al-Baqi, yang letaknya
berdekatan dengan Masjid Nabawi.

Tuesday, October 9, 2007

PEMEKARAN ACHEH MENJADI DUA BAGIAN

PENTING DIBACA OLEH MASYARAKAT NAD


Stockholm, 15 Januari 2006

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.

PEMEKARAN ACHEH MENJADI DUA BAGIAN JELAS-JELAS MELANGGAR MOU HELSINKI 15 AGUSTUS 2005.

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.

USAHA SEGELINTIR ORANG DI ACHEH YANG DIDUKUNG OLEH PIHAK TNI DAN PIHAK YANG ANTI MOU HELSINKI UNTUK MEMECAH ACHEH MENJADI DUA BAGIAN ADALAH JELAS-JELAS MELANGGAR MOU HELSINKI 2005.

"Sebenarnya motivasi utama pemekaran propinsi adalah bukan dalam rangka menggagalkan MoU Helsinki seperti yang ada di benak pemikiran NGO/aktivis mahasiswa, simpatisan GAM termasuk eks GAM yang ada di Aceh karena pemekaran propinsi ALA (Aceh Leuser Antara) dan ABAS (Aceh Barat Selatan) tetap memakai dasar wilayah yang dimekarkan yaitu sesuai 1 Juli 1956 bukan wilayah yang lain serta ALA dan ABAS tetap berada dalam wilayah Aceh, bahkan nama propinsi baru ini saja masih mengandung unsur nama “Aceh”." (Tony Priyono dan Sigit Sugiharto, Modus, Sabtu,14 Januari 2006).

Setelah membaca tulisan "Pemekaran Propinsi ALA dan ABAS, point of no return" yang dimuat Modus hasil pemikiran saudara Tony Priyono dan Sigit Sugiharto, yang keduanya merupakan konsultan masalah polkam dan intens dan tinggal di Meulaboh Acheh Barat, maka timbul dalam pemikiran Ahmad Sudirman bahwa itu saudara Priyono dan Sugiharto telah memutar balik fakta, bukti dan hukum yang tertuang dalam Memorandum of Understanding Helsinki 15 Agustus 2005, mengapa ?

Karena sudah jelas dan nyata bahwa Acheh yang dimaksud dalam MoU Helsinki adalah Acheh yang mengacu kepada perbatasan 1 Juli 1956, artinya Acheh yang tidak dibagi-bagi atau dimekarkan, yaitu yang terdiri dari 1. Acheh Besar, 2. Pidie, 3. Acheh-Utara, 4. Acheh-Timur, 5. Acheh-Tengah, 6. Acheh-Barat, 7. Acheh-Selatan dan Kota Besar Kutaraja.

Alasan saudara Priyono dan Sugiharto bahwa motivasi utama pemekaran propinsi adalah bukan dalam rangka menggagalkan MoU Helsinki, melainkan pemekaran propinsi ALA dan ABAS tetap memakai dasar wilayah 1 Juli 1956 dan tetap berada dalam wilayah Acheh.

Nah, itu alasan saudara Priyono dan Sugiharto sangat bertolak belakang dengan apa yang tertuang dalam MoU Helsinki, mengapa ?

Karena dengan disepakatinya Acheh berdasarkan perbatasan 1 Juli 1956, itu membuktikan secara fakta dan hukum bahwa Acheh merupakan satu daerah atau bagian permukaan bumi Acheh yang tidak terpisah, artinya Acheh tidak bisa dibagi-bagi.

Jadi, kalau ada dari pihak Acheh, dalam hal ini pihak kelompok dari Acheh Leuser Antara, Acheh Barat dan Acheh Selatan dan dari pihak RI dalam hal ini pemerintah RI dan DPR RI serta DPRD di tiga wilayah tersebut yang menghembus-hembuskan usaha pembagian atau pemekaran Acheh menjadi dua bagian, maka mereka itu telah dengan terang-terangan melanggar kesepakatan isi Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki.

Seterusnya, kalau saudara Priyono dan Sugiharto menuliskan alasan bahwa pemekaran propinsi Acheh Leuser Antara dan Aceh Barat Selatan adalah sebenarnya merupakan soal aspirasi politik dan kehendak politik rakyat dan elit politik di daerah ini yang dijamin oleh UUD 1945, Kovenan PBB tentang Hak-Hak Sipil dan Politik serta dalam MoU Helsinki itu sendiri yang sangat menghargai aspirasi politik yang berkembang, maka alasan tersebut, merupakan alasan yang lemah dan dicari-cari saja, mengapa ?

Karena dalam MoU Helsinki tidak menyebutkan aspirasi sekelompok kecil rakyat dan elit politik di Acheh Leuser Antara, Acheh Barat dan Acheh Selatan untuk membagi daerah Acheh menjadi dua bagian.

Begitu juga dengan dicantumkannya Kovenan PBB tentang Hak-Hak Sipil dan Politik serta dalam MoU Helsinki yang sangat menghargai aspirasi politik, bukan diarahkan dan ditujukan kepada usaha pembagian atau pemekaran Acheh menjadi dua bagian, melainkan aspirasi politik bagi seluruh bangsa dan rakyat di Acheh tidak terkecuali melalui perjuangan politik dan partai politik lokal di seluruh Acheh.

Adapun adanya jaminan UUD 1945 terhadap aspirasi politik dan kehendak politik rakyat dan elit politik di Acheh Leuser Antara, Acheh Barat dan Acheh Selatan, jelas dalam pelaksanaanya harus disesuaikan dengan apa yang telah disepakati dalam MoU Helsinki, yaitu keputusan-keputusan DPR RI yang terkait dengan Acheh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan DPR Acheh. Sedangkan kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh pemerintah RI berkaitan dengan Acheh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintahan Acheh.

Juga kalau saudara Priyono dan Sugiharto menyatakan alasan bahwa "menolak rencana pemekaran Propinsi ALA dan ABAS berarti pelanggaran terhadap MoU Helsinki itu sendiri sebab dalam MoU Helsinki juga diatur tentang persoalan hak asasi manusia dan aspirasi pemekaran Propinsi ALA dan ABAS bagian dari persoalan HAM rakyat didaerah tersebut yang juga harus dihargai oleh semua kalangan masyarakat Aceh, termasuk orang-orang di pesisir Aceh yang sebagian besar menolak pemekaran propinsi ALA dan ABAS ini", maka alasan yang dikemukakan oleh saudara Priyono dan Sugiharto diatas jelas merupakan alasan yang rapuh, mengapa ?

Karena persoalan hak asasi manusia dan aspirasi serta HAM yang tertuang dalam MoU Helsinki ditekankan kepada persoalan hak asasi dan aspirasi bagi seluruh bangsa dan rakyat Acheh di Acheh tidak terkecuali. Dan yang terpenting yang tertuang dalam MoU Helsinki adalah bukan hak asasi manusia dan aspirasi segelintir orang di Acheh, melainkan mencakup keseluruhan bangsa dan rakyat Acheh di seluruh Acheh.

Seandaianya aspirasi tersebut mau dibelokkan ke arah kemauan segelintir rakyat dan elit politik di Acheh Leuser Antara, Acheh Barat dan Acheh Selatan, maka penyelesaiannya sebagaimana yang sudah disepakati dalam MoU Helsinki yaitu harus melalui konsultasi dan persetujuan DPR Acheh dan Kepala Pemerintahan Acheh.

Dan kalau pihak elit politik di Acheh Leuser Antara, Acheh Barat dan Acheh Selatan akan membawa ide pemekaran Acheh ini digelanggang legislatif, maka tidak ada cara lain lagi selain, ide pemekaran tersebut harus diacukan kepada MoU Helsinki, yakni terlebih dahulu harus melalui konsultasi dan persetujuan DPR Acheh dan Kepala Pemerintahan Acheh berdasarkan UU baru Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Acheh yang akan diundangkan paling lambat 31 Maret 2006 di Acheh.

Itulah cara dan jalan demokratis sebagaimana yang telah disepakati dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.

Terakhir, setelah dipelajari apa yang dilontarkan dan dituliskan oleh saudara Priyono dan Sugiharto diatas, kemudian dianalisa dengan mendasarkan pada fakta, bukti dan hukum yang telah disepakati antara pihak Pemerintah RI dan GAM di Helsinki, maka apa yang dituliskan oleh saudara Priyono dan Sugiharto tersebut merupakan tulisan yang berisikan alasan yang rapuh yang tidak memiliki dasar fakta, bukti dan hukum yang kuat. Dan tentu saja ide "Pemekaran Propinsi ALA dan ABAS, point of no return" masih bisa diluruskan dengan cara mengacu kepada MoU Helsinki 15 Agustus 2005.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*


Wassalam.


Ahmad Sudirman


http://www.dataphone.se/~ahmad

ahmad@dataphone.se

----------

MODUS

Sabtu,14/1/06 08:15 WIB

PEMEKARAN PROPINSI ALA DAN ABAS, POINT OF NO RETURN

Oleh Tony Priyono dan Sigit Sugiharto*)

Berbicara tentang pemekaran propinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) sebenarnya berbicara soal aspirasi politik dan kehendak politik rakyat dan elit politik di daerah ini yang nota bene dijamin oleh UUD 1945, Kovenan PBB tentang Hak-Hak Sipil dan Politik serta dalam MoU Helsinki itu sendiri yang sangat menghargai aspirasi politik yang berkembang.

Menolak rencana pemekaran Propinsi ALA dan ABAS berarti pelanggaran terhadap MoU Helsinki itu sendiri sebab dalam MoU Helsinki juga diatur tentang persoalan hak asasi manusia dan aspirasi pemekaran Propinsi ALA dan ABAS bagian dari persoalan HAM rakyat didaerah tersebut yang juga harus dihargai oleh semua kalangan masyarakat Aceh, termasuk orang-orang di pesisir Aceh yang sebagian besar menolak pemekaran propinsi ALA dan ABAS ini. Dan ini wajar karena MoU Helsinki memang sangat menguntungkan GAM itu sendiri dan sikap GAM jelas bahwa mereka menolak pemekaran propinsi karena wilayah NAD sesuai perjanjian 1 Juli 1956.

Sebenarnya motivasi utama pemekaran propinsi adalah bukan dalam rangka menggagalkan MoU Helsinki seperti yang ada di benak pemikiran NGO/aktivis mahasiswa, simpatisan GAM termasuk eks GAM yang ada di Aceh karena pemekaran propinsi ALA dan ABAS tetap memakai dasar wilayah yang dimekarkan yaitu sesuai 1 Juli 1956 bukan wilayah yang lain serta ALA dan ABAS tetap berada dalam wilayah Aceh, bahkan nama propinsi baru ini saja masih mengandung unsur nama “Aceh”.

Sedikit mundur ke belakang, ide pemekaran propinsi ini sudah diusung di DPR-RI sejak paruh terakhir era 1990, namun “mentah” dan tidak sempat masuk ke dalam BAMUS (Badan Musyawarah), yang berkompeten untuk meng-agendakan RUU apa saja yang akan digulirkan dalam satu triwulan periode kerja. Karena belum berhasil, dalam momen-momen terakhir periodesasi DPR-RI 1999 – 2004 ide inipun kembali diangkat. Namun lagi-lagi terkendala karena masa persidangan yang sudah harus diakhiri.

Setidaknya ada 6 alasan mengapa bersetuju dengan ide pemekaran. Alasan-alasan itu adalah, (1) jarak yang jauh ke ibukota, (2) prasarana yang ketinggalan, (3) pelayanan yang sulit, (4) diskriminasi, (4) sulit menjadi pejabat teras dan (6) demi kesejahteraan rakyat. Sebenarnya, ke-enam alasan itu bisa disederhanakan menjadi dua yaitu (a) faktor demografis yang mencakup poin 1, 2 dan 3, serta (b) faktor sosial yang mencakup poin 4 dan 5. Sedangkan poin ke 6 masih relatif, tergantung dari interes masing-masing. Faktor demografis, secara moral, tidak cukup kuat untuk menjadi basis argumentasi pemekaran. Walau UU memungkinkan untuk itu. Dalam hal ini pemerintah NAD dengan seluruh jajaran atau dinas terkait dituntut untuk mampu mencari jalan keluar dari keter-isolasian ini.

Titik kritis ada pada faktor sosial. Tema-tema diskriminasi dan keterpinggiran adalah tema-tema lama. Realitas ALA dan ABAS adalah realitas dimana kita telah gagal dalam cara memandang identitas kolektif. Ia tidak muncul dari ruang yang vacuum, tetapi dari pola interaksi yang sudah bertahun-tahun terbangun dan memasuki kisi-kisi kesadaran kita. Kita tidak mampu mencarikan satu defenisi tentang siapa yang disebut Aceh itu; karakternya, ciri-cirinya, dan sifatnya. Kegagalan itu menggiring kita untuk merasa “lebih Aceh” atau “kurang Aceh”. Dari sinilah masalah itu bermula. Mereka yang merasa lebih Aceh, merasa lebih berhak atas segala posisi (previlege) di pemerintahan atau status sosial apa saja, sementara yang dianggap kurang Aceh menjadi warga kelas dua. Mereka yang merasa lebih Aceh mendominasi, sementara mereka yang dianggap kurang Aceh ter-subordinasi.

Ide untuk memekarkan propinsi juga dilandasi adanya fakta bahwa telah terjadi etnosentrisme sempit yang selama ini kita praktekkan yang membuat kita terpecah-pecah. Alasan sosial ini, tentu tidak bisa dibebankan kepada pemerintah, juga tidak bisa di-qanunkan, kecuali dengan merubah cara pandang kita terhadap kebersamaan dan kesetaraan yang harus terus kita promosikan. Fenomena keterpinggiran sebenarnya tidak hanya khas Aceh Tengah dan sekitarnya, tetapi juga dikonsumsi oleh warga Aceh di Meulaboh dan Tapaktuan, Simuelue, Singkil dan Tamiang. Mengentalnya konsolidasi identitas sub-etnik dikalangan masyarakat Gayo, hanya akan terjadi bila mereka sudah tidak merasa seperti dirumah sendiri (fell like home). Dalam manifestasi lanjutan, lahirlah harapan untuk mewujudkan identitas itu dalam satu entitas politik bernama provinsi. Bila sudah se-akut itu, maka saudara-saudara kita itu sudah tidak lagi merasa dirinya satu suku bersama dengan suku-suku yang lain, mendiami dan membesarkan Aceh. Dalam konteks NAD, gejala ini dipandang sebagai hilangnya loyalitas suatu kelompok sub-etnis terhadap kesepakatan dan ikatan yang lebih besar.

Disamping itu, penyebab lainnya dari timbulnya keinginan sebagian masyarakat Aceh untuk mendirikan propinsi baru yang terpisah dari NAD adalah adanya perasaan bahwa penduduk Aceh ada yang “orang Aceh” dan ada yang orang “kurang Aceh”.

Perasaan atau kesan seperti itu sangat dapat dirasakan meskipun mungkin tidak terkatakan. Etnis seperti Gayo, Alas, Singkil, Anuek Jamee, Simeulue, Kluet dan Tamiang dianggap sebagai “orang yang kurang Aceh” dibandingkan mereka yang di pesisir Timur atau di Aceh Besar dan Pidie. Hal ini disebabkan karena etnis-etnis minoritas yang mendiami pesisir Barat Selatan, bagian tengah Aceh dan wilayah yang diperbatasan dengan Sumatera Utara tersebut berbeda, terutama dari segi bahasa yang digunakan sehari-hari.

Jika begitu perlu didefinisikan kembali siapa sebenarnya yang berhak disebut sebagai “orang Aceh”? orang Acehkah Meurah Johan, Syeh Abdurrauf as Singkili atau Syeh Muda Wali ? Lebih Acehkah Hasan Tiro dibandingkan Aman Dimot atau Teuku Mude Telaga Mekar ? Lebih Acehkah orang Pidie (yang sebagiannya merupakan keturunan Hindustan) dibandingkan orang Nagan Raya dan Susoh Aceh Barat Daya ? Bisakah seni budaya Kluet mewakili NAD ke even internasional ? relakah “orang Aceh” menganggap bahasa Singkil atau Tamiang sebagai bahasa mereka juga ?Masihkah orang Aceh merasa asing jika ada saudara-saudaranya dari Simeulue atau Gayo Lues berbicara dalam bahasa mereka sendiri ?

Sesungguhnya kesamaan latar belakang, sejarah, agama dan rasa senasib sepenanggungan dalam suka dan duka telah memadukan hati dan jiwa segenap etnis di Aceh sebagai “ureung Aceh” jauh sejak zaman kerajaan dulu. Bahkan orang-orang Arab, Persia, Gujarat, Benggali, Cina, Eropa, Semenanjung Malaya, Minangkabau, Jawa dan sebagainya banyak yang telah menjadi “orang Aceh”.

Sebagai catatan konklusif, dari sudut mendukung pemekaran tentulah apa yang dikatakan oleh Thomas Jefferson bisa menjadi basis argumentasi. Sekali waktu dia pernah berujar “Setiap generasi memiliki semua hak dan kekuasaan yang pernah dimiliki oleh pada pendahulunya, dan boleh melakukan perombakan hingga sesuai dengan kebutuhan dirinya sendiri, yang diyakini mampu meningkatkan kebahagiaan mereka”.

Dengan kata lain, kehendak masyarakat diwilayah Aceh Jaya, Aceh Barat, Simeulue, Nagan Raya, Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan untuk membentuk Propinsi ABAS, serta kehendak masyarakat diwilayah Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil untuk membentuk Propinsi ABAS adalah merupakan kehendak politik yang sudah final dan tidak bisa dianggap angin lalu saja. Kehendak politik ini sudah tidak dapat dibelokkan alias “point of no return”. Jadi, untuk apa ragu-ragu memperjuangkannya dan ragu-ragu untuk menerimanya ?


*) Kedua penulis adalah konsultan masalah polkam dan intens mengamati perkembangan di Nanggroe Aceh Darussalam. Tinggal di Meulaboh Aceh Barat. Email : tonypriyono@yahoo.com dan sigitsugiharto_mar@yahoo.com.

http://www.modus.or.id/opini/abas.html

Sunday, October 7, 2007

Cara Menghilangkan Banner di Multply

How to remove ads banner from multiply?Just Copy this code to u ccs And succes

<-- begin-->

.rail {
background: transparent;
background-color: transparent;
color: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

.railbody {
background: transparent;
width: 119px;
background-color: transparent;
color: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

div.header {
background: transparent;
background-color: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

td.leftnav {
background: transparent;
background-color: transparent;
color: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

div.leftnavsep {
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

div.railsep {
background: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

td.leftnav a.mopt, td.leftnav a:link.mopt, td.leftnav a:visited.mopt, a.mopt, a:link.mopt, a:visited.mopt {
color: transparent;
}

td.leftnav a:hover.mopt, a:hover.mopt {
text-decoration: none;
background-color: transparent;
color: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: no####

.rail {
background: transparent;
background-color: transparent;
color: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

.railbody {
background: transparent;
width: 119px;
background-color: transparent;
color: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

div.header {
background: transparent;
background-color: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

td.leftnav {
background: transparent;
background-color: transparent;
color: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

div.leftnavsep {
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

div.railsep {
background: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

td.leftnav a.mopt, td.leftnav a:link.mopt, td.leftnav a:visited.mopt, a.mopt, a:link.mopt, a:visited.mopt {
color: transparent;
}

td.leftnav a:hover.mopt, a:hover.mopt {
text-decoration: none;
background-color: transparent;
color: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

ul.sidelist a, ul.sidelist a:visited, ul.sidelist a:link {
color: #F49AC1;
}
#rail iframe{display:none;}a.go,a:visited.go a:link.go,.go{background:transparent !important;}

#####################
background: transparent;
background-color: transparent;
color: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

.railbody {
background: transparent;
width: 119px;
background-color: transparent;
color: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

div.header {
background: transparent;
background-color: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

td.leftnav {
background: transparent;
background-color: transparent;
color: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

div.leftnavsep {
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

div.railsep {
background: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

td.leftnav a.mopt, td.leftnav a:link.mopt, td.leftnav a:visited.mopt, a.mopt, a:link.mopt, a:visited.mopt {
color: transparent;
}

td.leftnav a:hover.mopt, a:hover.mopt {
text-decoration: none;
background-color: transparent;
color: transparent;
border-color: none;
border-left-color: none;
border-right-color: none;
border: 0px;
}

ul.sidelist a, ul.sidelist a:visited, ul.sidelist a:link {
color: #F49AC1;
}
#rail iframe{display:none;}a.go,a:visited.go a:link.go,.go{background:transparent !important;}

#####################################ne;
border: 0px;
}

ul.sidelist a, ul.sidelist a:visited, ul.sidelist a:link {
color: #F49AC1;
}
#rail iframe{display:none;}a.go,a:visited.go a:link.go,.go{background:transparent !important;}

<-- end here -->


Wednesday, October 3, 2007

Berpesta saat puasa

Kalaulah Nabi Muhammad SAW saat ini hidup di tengah kita yang sedang
berpuasa, mungkin beliau akan merasa geli dengan kelakuan kita. Betapa
tidak, kita yang diperintahkan berpuasa di siang hari, memang betul-betul
melaksanakannya dengan cara menahan lapar.

Tapi selepas maghrib, kita berbuka sepuas-puasnya dengan aneka makanan dan
minuman yang jauh lebih mewah dibanding hari-hari biasa. Di bulan puasa,
justru kualitas dan kuantitas makan per orang per hari menjadi bertambah.
Buktinya, permintaan terhadap berbagai barang meningkat. Sehingga
harga-harga di bulan puasa cenderung lebih tinggi dibanding bulan-bulan
lainnya.

Ketika sahur tiba, anak-anak menjadi sulit makan. Karena itu, kita sebagai
orang tua berusaha memancing selera makan mereka dengan aneka masakan
favorit mereka. Celakanya, setiap anak memiliki kesukaan yang berbeda
sehingga harus disediakan semuanya pada saat yang sama. Itu kalau kita
punya cukup uang. Kalau tidak, berarti harus disediakan secara bergiliran
berbagi hari.

Makanan sisa sahur pun tak tega kita hangatkan dan hidangkan saat berbuka.
Kita ingin agar anak-anak makan yang segar-segar dan menyegarkan. Istri
kita kemudian dengan bangga menghibahkan makanan sisa sahur kepada si bibi
-- pembantu kita. Masih untung kita punya pembantu sehingga kita tidak
kesulitan untuk mengkonversi makanan sisa menjadi ladang amal. Boleh tanya
sama istri kita apakah kedermawanan itu telah direncanakan sejak awal atau
karena spontanitas melihat makanan sisa? Tentu, berbeda niat, berbeda amal
bukan.

Nanti pada saat bulan puasa usai, kita boleh ukur linkar pinggang kita
sendiri. Kalau bertambah, berarti kita makan lebih boros dibanding
bulan-bulan sebelumnya. Yang jelas berat badan anak kita biasanya
bertambah.

Dalam literatur psiko-ekonomi ada beberapa landasan teoritis yang bisa
menerangkan kenapa kita seolah 'balas dendam' makan ketika malam. Yang
pertama adalah asimetri antara kerugian dan keuntungan. Orang cenderung
membesar-besarkan kerugian dan sebaliknya menilai terlalu kecil keuntungan
yang diterima. Contohnya, ketika sebidang tanah milik kita tergusur oleh
kepentingan umum seperti jalan, maka kita akan cenderung meminta ganti rugi
yang lebih besar dari yang seharusnya.

Dalam konteks itu, kebanyakan dari kita masih memandang puasa sebagai
'pengorbanan' tidak makan dan minum sepanjang hari. Karena itu secara
psikologis kita menuntut kepada diri kita sendiri untuk mendapatkan
kompensasi yang lebih besar pada saat berbuka. Tubuh kita yang lemas
sepanjang hari membutuhkan pemulihan yang lebih menyegarkan. Karena sifat
asimetris ini maka kita cenderung makan dalam kuantitas dan kualitas yang
lebih tinggi di banding hari-hari biasa.

Padahal sesungguhnya, Nabi menyuruh kita untuk menguak rahasia kekuatan
puasa. Nabi dan para sahabat justru beberapa kali melakukan peperangan di
bulan puasa. Artinya, puasa berasosiasi dengan kekuatan yang sangat dahsyat
dan inilah yang tampaknya gagal kita lakukan. Kita masih berkutat pada
anggapan bahwa puasa membuat badan kita lemas, letoy dan tidak produktif.
Bukankah kalau kita memandang puasa sebagai sumber kekuatan, kita tidak
usah berlebihan dalam berbuka?

Sifat psiko-ekonomi yang kedua adalah yang disebut dengan kelembaman
utilitas. Maksudnya, seseorang yang terbiasa menikmati tingkat utilitas
yang tinggi akan sangat kesulitan untuk menurunkannya. Seseorang yang
terbiasa menikmati kekuasaan akan berusaha untuk terus berkuasa. Orang kaya
yang tiba-tiba bankrut, banyak mengalami kesulitan dalam menurunkan gaya
hidup mereka. Dalam bahasa sederhana, kita terperangkap dalam kenikmatan.

Karena sifat kelembamam seperti itu, kita sangat kesulitan dalam menurunkan
tingkat kenikmatan mengkonsumsi makanan dan minuman. Yang kita lakukan
hanyalah sebatas mengubah jadwal dan frekuensi makan dari siang menjadi
malam dan dari tiga kali menjadi dua kali sehari. Mungkin dalam bahasa Imam
Ghazali, kita baru dikelompokan sebagai orang yang berpuasa sebatas menahan
lapar saja. Kita belum bisa menguak rahasia kekuatan puasa. Kita juga belum
tentu bisa melakukan puasa hati.

Nah kalau tahun depan harga-harga naik lagi sewaktu bulan puasa maka kita
masih terjebak pada dua masalah psiko-ekonomi tersebut di atas. Artinya
kualitas berpuasa kita belum sepenuhnya seperti yang diperintahkan Allah.
Mari kita perbaiki puasa kita terus menerus, dan itu bisa kita ukur secara
tidak langsung dari pergerakan harga.