Wednesday, October 3, 2007

Berpesta saat puasa

Kalaulah Nabi Muhammad SAW saat ini hidup di tengah kita yang sedang
berpuasa, mungkin beliau akan merasa geli dengan kelakuan kita. Betapa
tidak, kita yang diperintahkan berpuasa di siang hari, memang betul-betul
melaksanakannya dengan cara menahan lapar.

Tapi selepas maghrib, kita berbuka sepuas-puasnya dengan aneka makanan dan
minuman yang jauh lebih mewah dibanding hari-hari biasa. Di bulan puasa,
justru kualitas dan kuantitas makan per orang per hari menjadi bertambah.
Buktinya, permintaan terhadap berbagai barang meningkat. Sehingga
harga-harga di bulan puasa cenderung lebih tinggi dibanding bulan-bulan
lainnya.

Ketika sahur tiba, anak-anak menjadi sulit makan. Karena itu, kita sebagai
orang tua berusaha memancing selera makan mereka dengan aneka masakan
favorit mereka. Celakanya, setiap anak memiliki kesukaan yang berbeda
sehingga harus disediakan semuanya pada saat yang sama. Itu kalau kita
punya cukup uang. Kalau tidak, berarti harus disediakan secara bergiliran
berbagi hari.

Makanan sisa sahur pun tak tega kita hangatkan dan hidangkan saat berbuka.
Kita ingin agar anak-anak makan yang segar-segar dan menyegarkan. Istri
kita kemudian dengan bangga menghibahkan makanan sisa sahur kepada si bibi
-- pembantu kita. Masih untung kita punya pembantu sehingga kita tidak
kesulitan untuk mengkonversi makanan sisa menjadi ladang amal. Boleh tanya
sama istri kita apakah kedermawanan itu telah direncanakan sejak awal atau
karena spontanitas melihat makanan sisa? Tentu, berbeda niat, berbeda amal
bukan.

Nanti pada saat bulan puasa usai, kita boleh ukur linkar pinggang kita
sendiri. Kalau bertambah, berarti kita makan lebih boros dibanding
bulan-bulan sebelumnya. Yang jelas berat badan anak kita biasanya
bertambah.

Dalam literatur psiko-ekonomi ada beberapa landasan teoritis yang bisa
menerangkan kenapa kita seolah 'balas dendam' makan ketika malam. Yang
pertama adalah asimetri antara kerugian dan keuntungan. Orang cenderung
membesar-besarkan kerugian dan sebaliknya menilai terlalu kecil keuntungan
yang diterima. Contohnya, ketika sebidang tanah milik kita tergusur oleh
kepentingan umum seperti jalan, maka kita akan cenderung meminta ganti rugi
yang lebih besar dari yang seharusnya.

Dalam konteks itu, kebanyakan dari kita masih memandang puasa sebagai
'pengorbanan' tidak makan dan minum sepanjang hari. Karena itu secara
psikologis kita menuntut kepada diri kita sendiri untuk mendapatkan
kompensasi yang lebih besar pada saat berbuka. Tubuh kita yang lemas
sepanjang hari membutuhkan pemulihan yang lebih menyegarkan. Karena sifat
asimetris ini maka kita cenderung makan dalam kuantitas dan kualitas yang
lebih tinggi di banding hari-hari biasa.

Padahal sesungguhnya, Nabi menyuruh kita untuk menguak rahasia kekuatan
puasa. Nabi dan para sahabat justru beberapa kali melakukan peperangan di
bulan puasa. Artinya, puasa berasosiasi dengan kekuatan yang sangat dahsyat
dan inilah yang tampaknya gagal kita lakukan. Kita masih berkutat pada
anggapan bahwa puasa membuat badan kita lemas, letoy dan tidak produktif.
Bukankah kalau kita memandang puasa sebagai sumber kekuatan, kita tidak
usah berlebihan dalam berbuka?

Sifat psiko-ekonomi yang kedua adalah yang disebut dengan kelembaman
utilitas. Maksudnya, seseorang yang terbiasa menikmati tingkat utilitas
yang tinggi akan sangat kesulitan untuk menurunkannya. Seseorang yang
terbiasa menikmati kekuasaan akan berusaha untuk terus berkuasa. Orang kaya
yang tiba-tiba bankrut, banyak mengalami kesulitan dalam menurunkan gaya
hidup mereka. Dalam bahasa sederhana, kita terperangkap dalam kenikmatan.

Karena sifat kelembamam seperti itu, kita sangat kesulitan dalam menurunkan
tingkat kenikmatan mengkonsumsi makanan dan minuman. Yang kita lakukan
hanyalah sebatas mengubah jadwal dan frekuensi makan dari siang menjadi
malam dan dari tiga kali menjadi dua kali sehari. Mungkin dalam bahasa Imam
Ghazali, kita baru dikelompokan sebagai orang yang berpuasa sebatas menahan
lapar saja. Kita belum bisa menguak rahasia kekuatan puasa. Kita juga belum
tentu bisa melakukan puasa hati.

Nah kalau tahun depan harga-harga naik lagi sewaktu bulan puasa maka kita
masih terjebak pada dua masalah psiko-ekonomi tersebut di atas. Artinya
kualitas berpuasa kita belum sepenuhnya seperti yang diperintahkan Allah.
Mari kita perbaiki puasa kita terus menerus, dan itu bisa kita ukur secara
tidak langsung dari pergerakan harga.

No comments: